Rakor KHDTK: Satukan Arah, Kuatkan Kolaborasi

SHARE

Bogor, 10 Juli 2025 — Di tengah dinamika kelembagaan dan tantangan pengelolaan sumber daya alam yang kian kompleks, Pusat Pengembangan Hutan Berkelanjutan (P2HB) menyelenggarakan Rapat Koordinasi Pengelolaan Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) dan Hutan Penelitian (HP). Bertempat di Ruang Rapat Sudiarto, Bogor, kegiatan yang berlangsung sehari penuh ini mempertemukan berbagai pemangku kepentingan dari Kementerian Kehutanan, BRIN, akademisi, hingga para pengelola KHDTK dan HP dari berbagai wilayah.

pKepala P2HB, Gun Gun Hidayat, membuka kegiatan dengan menegaskan bahwa KHDTK memiliki peran strategis sebagai pool of knowledge dalam mendukung kebijakan kehutanan berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi. Ia menyebut rakor ini sebagai momentum penting untuk menyatukan arah, memperkuat sinergi lintas sektor, dan merumuskan ulang strategi pengelolaan kawasan yang adaptif terhadap perubahan. “KHDTK bukan hanya tempat riset, tapi juga memiliki nilai sosial yang besar. Jika dikelola dengan tepat, ia bisa menjadi ruang belajar bersama, membuka peluang usaha, dan memperkuat ketahanan ekonomi masyarakat sekitar,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa kebutuhan akan sistem pengelolaan yang tangguh kini semakin mendesak, terlebih setelah sebagian besar peneliti kehutanan dialihkan ke BRIN.

Sebelum Rakor dimulai didahului pengantar dari Lukita Awang Nistyantara selaku Kepala Setdit Gakkum. Hal ini turut memperkaya diskusi, khususnya dalam konteks perlindungan kawasan dan penguatan tata kelola berbasis hukum. Sinergi antara aspek pengelolaan dan penegakan hukum menjadi penting, agar KHDTK dan HP tidak hanya kuat secara kelembagaan dan ilmiah, tetapi juga terlindungi secara legal dari potensi ancaman atau penyimpangan di lapangan.

Rapat terbagi dalam dua sesi utama. Pada sesi pertama, Tim P2HB pengelola KHDTK dari Cikampek, Carita, Arcamanik, Pasir Awi, Haurbentes, serta HP Dramaga memaparkan potensi, tantangan, dan kebutuhan yang dihadapi masing-masing kawasan. Isu utama yang mencuat antara lain belum jelasnya arah pengelolaan fungsi kawasan, keterbatasan pendanaan, serta pentingnya keterlibatan masyarakat sebagai mitra aktif dalam menjaga kelestarian hutan.

Sejumlah narasumber memperkaya diskusi dengan beragam perspektif. Dede J. Sudrajat dari BRIN menekankan pentingnya pelibatan masyarakat dan penyusunan strategi pendanaan yang berkelanjutan agar pengelolaan KHDTK tidak bergantung sepenuhnya pada anggaran pemerintah. Deden Suprata dari Direktorat Koleksi Ilmiah BRIN menambahkan bahwa strategi pengelolaan perlu dibedakan antara jangka pendek dan panjang, serta menyarankan penyusunan model bisnis yang multidimensi dan responsif terhadap kebutuhan kawasan.

Sementara itu, Akmal dari KHDTK Wanagama menyoroti pentingnya pendekatan yang kontekstual dalam setiap kawasan. Hal senada disampaikan oleh Basar Manullang dari BP2SDM yang menekankan pentingnya keselarasan pengelolaan KHDTK dengan kerangka hukum yang berlaku serta perlunya penguatan jejaring kerja sama dengan para pihak. Soni Trison dari IPB menyampaikan bahwa kolaborasi dalam riset dan pengabdian kepada masyarakat menjadi kunci, yang harus didukung oleh pengembangan sistem informasi berbasis database terpadu guna menunjang pengambilan keputusan yang lebih akurat dan berkelanjutan. Tak kalah penting, perwakilan dari Direktorat Penghijauan dan Perbenihan Tanaman Hutan menyatakan kesiapan lembaganya dalam mendukung pengelolaan KHDTK, khususnya dalam aspek perbenihan dan penyediaan tanaman hutan.

Sesi kedua yang juga didahului dengan pemaparan dari tim P2HB, menyoroti peran empat Hutan Penelitian—Cikole, Pasir Hantap, Sobang, dan Gunung Dahu—yang memiliki potensi besar sebagai ruang riset, edukasi, konservasi, dan layanan ekosistem. M. Farid Januardi dari Perhutani Forestry Institute (PeFI) menekankan pentingnya pendekatan kolaboratif dan pengembangan model bisnis yang sesuai agar pengelolaan menjadi mandiri dan berkelanjutan. Henti Hendalastuti Rachmat dari BRIN menambahkan bahwa perencanaan strategi harus diawali dengan identifikasi kondisi eksisting kawasan secara menyeluruh agar arah pengelolaan menjadi lebih efektif dan realistis. Di sisi lain, Lulu Setiyani dari Universitas Nusa Bangsa menawarkan peran universitas sebagai jembatan komunikasi antara pengelola HP dan masyarakat, khususnya di kawasan yang dekat dengan wilayah pendampingan serta membuka ruang konsultasi.

Sebagai hasil rumusan strategis rakor, peserta menyepakati pentingnya pemantapan arah dan tujuan pengelolaan KHDTK dalam jangka menengah hingga panjang. Proses ini mencakup identifikasi potensi kawasan, analisis kesenjangan (gap analysis), hingga perumusan rencana kegiatan tahunan yang terukur. Setiap KHDTK diharapkan menggali dan mendokumentasikan kekhasan dan keunikan masing-masing sebagai modal dasar dalam diferensiasi fungsi kawasan.

Pengelolaan KHDTK ke depan juga akan diarahkan pada aspek prioritas, seperti pengembangan ekowisata berbasis edukasi, pelestarian sumber daya genetik, serta dukungan terhadap program pendidikan dan pelatihan. Selain itu, potensi biodiversitas dan data dari plot-plot riset yang telah dibangun akan dihimpun dalam sistem metadata terintegrasi, sehingga dapat dimanfaatkan lebih luas oleh peneliti maupun masyarakat umum.

Rakor juga menyoroti pentingnya transparansi dan sistem evaluasi berbasis database, memperluas jejaring pendanaan, serta memperkuat integrasi konsep iklim, keanekaragaman hayati, dan manfaat sosial dalam pengelolaan zonasi kawasan. Peningkatan status hukum bagi beberapa HP agar setara dengan KHDTK pun turut diusulkan, demi memperjelas dasar hukum pengelolaannya.

Menutup kegiatan, Kepala P2HB menyampaikan apresiasi kepada seluruh peserta dan narasumber atas kontribusi pemikirannya. Ia menegaskan bahwa seluruh masukan dan hasil diskusi akan ditindaklanjuti sebagai bagian dari penguatan kebijakan dan praktik pengelolaan hutan berbasis ilmu pengetahuan dan kepentingan masyarakat luas.

Senada dengan itu, Pratiara Lamin, Kepala Bidang Fasilitas Penerapan Pengembangan Hutan Berkelanjutan, menekankan korelasi erat antara kondisi sosial masyarakat dan pengelolaan ekosistem hutan. “Kemiskinan, kerentanan pangan, dan ketergantungan masyarakat terhadap ekosistem hutan adalah persoalan yang saling terhubung. Pengelolaan KHDTK yang tepat dan kolaboratif bukan hanya soal pelestarian, tapi juga tentang membangun ketahanan sosial dan ekonomi masyarakat sekitar kawasan,” ujarnya.

Rakor ini menegaskan pentingnya menjadikan KHDTK dan HP sebagai pionir pengelolaan hutan berkelanjutan yang tidak hanya berorientasi pada konservasi, tetapi juga pada kemanfaatan nyata bagi masyarakat.

***

 

Penanggung Jawab Berita :

Gun Gun Hidayat, Ph.D - Kepala Pusat Pengembangan Hutan Berkelanjutan

Editor :

Pratiara Lamin, S.Hut.M.Si – Kepala Bidang Fasilitas Penerapan Pengembangan Hutan Berkelanjutan

Kontributor berita :

Tim Humas Pusat Pengembangan Hutan Berkelanjutan