PuSTARhut Gelar Rapat Teknis Komtek 65-02 HHBK, Bahas Revisi dan Rancangan SNI Baru

SHARE

Bogor. Senin, 7 Oktober 2024. Pusat Standardisasi Instrumen Pengelolaan Hutan Berkelanjutan (PuSTARhut) menggelar rapat teknis Komite Teknis (Komtek) 65-02 Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Kegiatan ini dilaksanakan untuk mendapatkan masukan dari berbagai pihak yang terlibat dalam penyusunan standar, khususnya anggota Komtek dan pakar di bidang HHBK.

Dalam konteks pengelolaan hutan berkelanjutan, HHBK memiliki peran penting. HHBK meliputi berbagai produk dan bahan yang diperoleh dari hutan selain kayu, termasuk minyak atsiri, rotan, bambu, madu, getah dan produk lainnya. Standar yang jelas dan tepat akan memastikan bahwa produk HHBK yang dihasilkan memiliki kualitas yang sesuai dengan kebutuhan pasar.

Kepala PuSTARhut, Wening Sri Wulandari, dalam pembukaannya menyampaikan bahwa salah satu tugas dan fungsi PuSTARhut adalah formulasi SNI. PuSTARhut telah ditetapkan sebagai sekretariat Komtek 65-01 Pengelolaan Hutan, Komtek 65-02 Hasil Hutan Bukan Kayu dan Komtek 79-01 Hasil Hutan Kayu. “Penyusunan dan revisi SNI ini merupakan bagian dari Program Nasional Perumusan Standar (PNPS) 2024 yang ditargetkan penetapannya pada tahun ini“, tegasnya.

Sebanyak 3 (tiga) Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI) yang menjadi fokus pembahasan dalam rapat ini yaitu revisi RSNI 3954:2014 Minyak kayu putih, revisi RSNI 8664:2018 Madu, dan penyusunan RSNI baru tentang pengukuran daun tumbuhan hutan. 

Supriyanto, peneliti senior dari SEAMEO Biotrop menyampaikan bahwa pada prinsipnya SNI harus mengikuti perkembangan teknologi mutakhir dan sifatnya berkeadilan, dalam arti menguntungkan bagi semua pihak. “Adapun revisi maupun penyusunan SNI baru harus didasari oleh alasan yang kuat dan berpengaruh untuk kepentingan orang banyak”, ungkapnya.

Rapat diawali dengan pembahasan Revisi SNI 3954 Minyak Kayu Putih, yang merupakan salah satu produk HHBK unggulan penting di Indonesia. Revisi ini dilaksanakan berdasarkan hasil kaji ulang dalam rangka pemeliharaan SNI untuk menjaga kesesuaian standar terhadap kepentingan nasional, kebutuhan pasar, perkembangan ilmu pengetahuan, inovasi dan teknologi.

Poin revisi yang diusulkan antara lain terkait dengan kelarutan minyak kayu putih dalam etanol, rentang syarat uji indeks bias, serta syarat pengemasan dan penandaan.

Pada sesi kedua, pembahasan dilanjutkan dengan penyusunan RSNI baru yaitu pengukuran daun tumbuhan hutan. Andi Bharata dari Direktorat IPHH, menyampaikan latar belakang diusulkannya RSNI ini adalah karena kebutuhan metode pengukuran HHBK dalam kegiatan pemanfaatan hutan. Pengukuran dan pengelolaan potensi HHBK daun tumbuhan hutan, khususnya jenis yang diperdagangkan untuk bahan baku minyak atsiri, obat-obatan dan pakan ternak, perlu memiliki metode yang terstandar.

SNI ini dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam melakukan kegiatan pengukuran daun tumbuhan hutan bagi para tenaga teknis di lapangan, sehinga dapat membantu pengembangan praktik-praktik yang berkelanjutan dalam pemanfaatan HHBK daun tumbuhan hutan serta memastikan konsistensi dalam pengukuran yang dilakukan.

“Dalam pengukuran daun tumbuhan hutan, khususnya yang digunakan sebagai bahan baku minyak atsiri, harus mempertimbangkan faktor konversi, karena secara alamiah akan ada penyusutan dari kandungan air, yang nilainya bervariasi,” terang Supriyanto.

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Lincah Andadari menambahkan hal yang penting diperhatikan dalam pengukuran adalah alat ukur itu sendiri. “Timbangan yang direkomendasikan dengan akurasi yang tinggi namun tetap mempertimbangkan kepraktisan di lapangan.” jelasnya.

Sesi terakhir dari rapat teknis ini membahas revisi SNI 8664 Madu. Madu merupakan produk hasil hutan bukan kayu lainnya yang memiliki potensi ekonomi besar, baik di pasar lokal maupun internasional. Revisi yang diusulkan pada SNI ini adalah pemisahan kembali SNI Madu dan SNI Pengelolaan madu sebagai bahan baku seperti SNI sebelumnya pada tahun 2013.

SNI Madu sendiri spesifik membahas persyaratan mutu madu, termasuk kadar air yang terkandung di dalamnya. Menurut Mahani, konseptor SNI yang merupakan ahli dari Universitas Padjajaran (UNPAD), penetapan kadar air penting untuk ditetapkan berkaitan dengan kepentingan konsumen untuk mendapatkan madu berkualitas (tidak terlalu asam). “Kadar air yang tinggi pada beberapa jenis madu menyebabkan rawan terjadi fermentasi yang akan menurunkan kualitas madu”, jelasnya.

Acara yang dilaksanakan secara hybrid ini dihadiri oleh para pihak terkait, yaitu anggota Komite Teknis 65-02 HHBK, Komite Teknis 71-05 Minyak Atsiri, peneliti dari BRIN dan SEAMEO BIOTROP, Direktorat Iuran dan Penatausahaan Hasil Hutan (IPHH), perwakilan dari Dewan Atsiri Indonesia dan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI).

Rekomendasi dan masukan yang diperoleh pada kegiatan ini sangat krusial dalam penyempurnaan RSNI yang telah disusun. Standar yang dihasilkan diharapkan dapat menjadi acuan yang kuat bagi pemerintah dan industri, serta mampu mendukung upaya pelestarian lingkungan.***

 

Penanggung jawab berita: Dr. Wening Sri Wulandari
Kontributor berita: Darwati