PuSTARhut Gelar Konsultasi Publik Standar Khusus Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup Menduku

SHARE

Bogor. Rabu, 8 Mei 2024. Pusat Standardisasi Instrumen Pengelolaan Hutan Berkelanjutan (PuSTARhut) menggelar konsultasi publik Standar Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup untuk Usaha dan/atau Kegiatan Perhutanan Sosial.

Perhutanan Sosial (PS) saat ini menjadi salah satu fokus utama dalam upaya melestarikan hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Pada prinsipnya PS merupakan sistem dimana kelompok masyarakat menjadi pelaku utama pengelolaan hutan dalam skema Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Kemitraan Kehutanan dan Hutan Adat. Melalui program ini, masyarakat diberdayakan untuk mengelola hutan secara berkelanjutan, dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.

Pada Kuarter I, PuSTARhut telah menyusun sembilan konsep standar pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup dalam lingkup kegiatan Perhutanan Sosial, yaitu Agroforestry, Silvopastura, Silvofishery, Ekowisata, Pemanfaatan Kayu, Penyediaan Jasa Lingkungan Air dan Aliran Air, serta Pemanfaatan dan Pemungutan HHBK.

Dalam paparannya, Aryani, Kepala Bidang Perumusan dan Penilaian Kesesuaian Standar Instrumen (P2KSI), menyampaikan bahwa standar yang disusun diharapkan menjadi pedoman bagi kelompok Perhutanan Sosial dalam pengelolaan aspek lingkungan hidup dari kegiatan perhutanan sosial. Standar akan diusulkan kepada Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) untuk menjadi bagian dalam Rencana Kelola Perhutanan Sosial (RKPS).

“Seluruh pemegang skema PS wajib menyusun RKPS, termasuk yang bentuknya kemitraan dengan pemilik Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH). RKPS tersebut harus sinkron dengan rencana kerja PBPH.” ungkap Kepala Seksi BPSKL Wilayah Jawa, Ayi Firdaus.

Luluk Dwi Handayani, peneliti dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB University mengatakan bahwa standar pengelolaan yang dibuat telah mempertimbangkan kesiapan pengelola, bersifat sederhana dan dapat dilakukan oleh kelompok PS. “Standar yang dibuat tidak rumit, sehingga tentunya bisa diterapkan oleh masyarakat sebagai pengelola, mengingat program PS merupakan kemitraan”.

“Dalam pelaksanaannya, masyarakat biasanya menerapkan kombinasi jenis kegiatan PS sesuai dengan lansekap masing-masing wilayah. Dampak kebakaran hutan perlu dicantumkan pada standar untuk semua jenis kegiatan, termasuk silvofishery dan silvopastura. Berkaitan juga dengan potensi dampak terjadinya El Nino yang menyebabkan kekeringan dan rawan kebakaran.” ungkap Untung Satrio dari Direktorat Pengendalian Usaha Pemanfaatan Hutan (PUPH). Hal ini senada dengan saran dari tim Balai PSKL Wilayah Sulawesi untuk melibatkan Balai Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) setempat dalam pemantauan potensi dampak kebakaran hutan dan lahan.

Perwakilan dari Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Esti Darmaningsih menyoroti dampak kegiatan terhadap flora dan fauna setempat. Menurutnya, perlu dipertimbangkan pengaruh kegiatan budidaya terhadap jenis asli suatu kawasan. Senada, Untung menambahkan pentingnya pemilihan jenis tanaman budidaya yang tepat dan mempertimbangkan jenis tanaman lokal.

Acara yang diselenggarakan secara hybrid ini turut dihadiri oleh para pihak terkait, antara lain unit Eselon teknis di Kementerian KLHK, yaitu Direktorat Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial (PKPS), Direktorat Pengembangan Usaha Perhutanan Sosial (PUPS), dan Balai dari Ditjen PSKL; Direktorat PUPH Ditjen PHL; PPLH IPB University; Pusat Penyuluhan dari Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia; APHI; Kelompok Tani Hutan; serta Balai Besar Pengujian Standar Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Keterlibatan berbagai pihak pada pertemuan ini menghasilkan masukan dan rekomendasi untuk penyempurnaan rancangan standar yang disusun.***

Penanggung jawab berita: Dr. Wening Sri Wulandari
Kontributor berita: Darwati