PuSTARhut Gelar Konsultasi Publik Penyusunan Standar Khusus Pengelolaan Mangrove

SHARE

Bogor. Jumat, 6 Desember 2024. Pusat Standardisasi Instrumen Pengelolaan Hutan Berkelanjutan (PuSTARhut) menggelar konsultasi publik standar khusus pengelolaan mangrove di Hotel Sahira, Bogor. Penyusunan standar ini merupakan bagian dari pelaksanaan Forest Programme VI: Protection of Mangrove Forests, khususnya output perumusan dan pengembangan standar pengelolaan mangrove berkelanjutan berdasarkan best practices.

Forest Programme VI (FP VI) merupakan program kerjasama bidang kehutanan antara pemerintah Indonesia dengan Jerman (KfW) untuk mendukung konservasi dan rehabilitasi mangrove. Adapun rancangan standar yang telah disusun untuk mendukung rehabilitasi mangrove adalah Standar Pembangunan Pelindung Tanaman Mangrove dan Standar Rehabilitasi Mangrove di Lahan Bekas Tambak. Konsultasi publik bertujuan untuk mendapatkan masukan dan rekomendasi untuk penyempurnaan rancangan standar yang telah disusun.

Wening Sri Wulandari, Kepala PuSTARhut, dalam sambutannya menyampaikan bahwa pada tahun 2024 telah dihasilkan sebanyak 62 standar di antaranya untuk mendukung persetujuan lingkungan dan pengelolaan hutan berkelanjutan. “Prioritas kami adalah menyusun standar yang tidak hanya berhenti di sebuah standar, tanpa mempertimbangkan penerapannya di lapangan. Sehingga di BSILHK sendiri, kami memiliki beberapa kriteria ketika memilih sebuah topik standar, yaitu jumlah minimal calon pengguna, kemudian juga tidak hanya diterapkan di satu lokasi tetapi di berbagai lokasi. Inilah kriteria standar layak ditetapkan atau tidak.” tegas Wening.

Ia melanjutkan, rancangan standar yang akan dibahas pada hari ini merupakan hasil observasi dari inovasi yang dilakukan oleh oleh Universitas Tanjungpura dan Mempawah Mangrove Center, serta best practices dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara. “Harapannya standar bisa diterapkan di lapangan untuk meningkatkan tingkat keberhasilan dalam rehabilitasi mangrove” ungkapnya.

Pada kesempatan ini, Raja Fajar Azansyah, Ketua Mempawah Mangrove Center (MMC), memperkenalkan kembali konsep Organic Coastal Defence (OCD) sebagai pelindung tanaman mangrove, yang merupakan hasil kolaborasi MMC dan Universitas Tanjungpura. “OCD merupakan bentuk intervensi agar anakan mangrove dapat bertahan terutama pada fase kritis dua tahun pertama, dan untuk mengikat lumpur yang merupakan sumber nutrisi bagi mangrove, sehingga persentase keberhasilan tanam dapat ditingkatkan” terangnya.

Menurutnya, rehabilitasi mangrove dengan implementasi OCD memerlukan konsistensi dan effort karena banyak kasus tidak langsung berhasil dalam satu tahun. Sebagian besar karena tersapu ombak, sehingga penyulaman juga diperlukan sekiranya anakan mangrove gagal hidup.

Kiki Prio Utomo, akademisi dari Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura menyampaikan bahwa poin yang perlu dikuatkan dalam standar adalah prosesnya, bukan hasil bangunan pelindungnya. “Pembangunan OCD di setiap lokasi sangat unik dan memerlukan pendekatan spesifik bergantung pada data, kondisi, dan mempertimbangkan kearifan lokal masyarakat” ungkapnya.

Sementara itu, Suyadi, Peneliti Utama dari Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi BRIN menyampaikan bahwa tahapan penting dalam rehabilitasi mangrove adalah perencanaan atau pembuatan desain rehabilitasi. “Pembuatan desain di awal ini sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan rehabilitasi. Dalam pelaksanaannya mungkin diperlukan pendampingan untuk membuat desain rehabilitasi ekosistem mangrove” jelasnya.

Suyadi menambahkan, dalam pemilihan jenis mangrove pada lokasi rehabilitasi sangat penting untuk mempertimbangkan spesies invasif, yang dapat menghambat pertumbuhan jenis asli setempat.

Senada, Edina Emininta Br Ginting, perwakilan dari BBKSDA Sumatera Utara, menekankan pentingnya melihat rehabilitasi dari sisi ekologis atau ekosistemnya. “Keanekaragaman hayati yang ada di ekosistem tersebut harus menjadi pertimbangan untuk diobservasi apakah misalnya terbentuk habitat baru, dan bagaimana pengaruh kegiatan terhadap hidupan liar yang ada” ungkapnya.

Sebagai penutup, Kepala PuSTARhut menekankan kembali bahwa keberterimaan standar oleh calon penerap standar, yang merupakan aspek sosial, menjadi hal penting untuk menjalankan kegiatan rehabilitasi agar tetap berkelanjutan.

Acara yang diselenggarakan secara hybrid ini turut dihadiri oleh perwakilan dari Direktorat Rehabilitasi Perairan Darat dan Mangrove dan Balai Besar Pengujian Standar Instrumen Lingkungan Hidup. Masukan dan rekomendasi yang dihasilkan pada kegiatan ini akan ditindaklanjuti untuk penyempurnaan rancangan standar yang disusun.***

Penanggung jawab berita: Dr. Wening Sri Wulandari
Kontributor berita: Darwati