Pustarhut Diskusikan Material Hasil Hutan dalam Standar Bangunan Gedung Hijau untuk Penerapan Green Construction

SHARE

Jakarta. 12 September 2024. Jumlah penduduk yang besar dan aktivitas manusia adalah pendorong utama terjadinya perubahan iklim. Apabila tidak ada langkah serius untuk mengatasi masalah perubahan iklim, maka kesejahteraan umum pun akan terganggu. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengatasi perubahan iklim adalah dengan mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari berbagai sektor, diantaranya dari sektor bangunan gedung. Komitmen Indonesia untuk mengurangi gas rumah kaca telah dituangkan dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC). NDC merupakan komitmen yang disusun oleh Negara Pihak (yang meratifikasi Persetujuan Paris), untuk berkontribusi pada penurunan emisi GRK di dalam konteks Persetujuan Paris. Sejumlah upaya sudah ditempuh Indonesia Indonesia untuk menekan dampak perubahan iklim, terutama terkait penurunan GRK. Salah satunya adalah penerapan Bangunan Gedung Hijau (BGH).

“Sektor bangunan gedung berkontribusi sekitar 30% dari seluruh penggunaan energi atau setara dengan 1/3 dari emisi Gas Rumah Kaca (GRK)” kata Budi Prastowo, ST, MT dari  Direktorat Bina Teknik Perumahan dan Pemukinan, Kementerian PUPR.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penilaian Kinerja Bangunan Gedung Hijau, BGH didefinisikan sebagai bangunan gedung yang memenuhi standar teknis bangunan gedung dan memiliki kinerja terukur secara signifikan dalam penghematan energi, air, dan sumber daya lainnya melalui penerapan prinsip BGH sesuai dengan fungsi dan klasifikasi dalam setiap tahapan penyelenggaraannya. Permen PUPR Nomor 21 Tahun 2021, secara eksplisit mensyaratkan mengenai pengendalian penggunaan penggunaan material berbahaya dan penggunaan material bersertifikat ramah lingkungan (eco labelling) dalam penyediaan material konstruksi.

“Material ramah lingkungan hasil hutan ditentukan melalui Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK). Contoh materialnya adalah kayu olahan, kayu struktur, dan lain-lain” tegas Budi.

Mengutip dari laman Sistem Informasi Legalitas dan Kelestarian (SILK), Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) merupakan sistem untuk pelacakan yang disusun secara multistakeholder untuk memastikan legalitas sumber kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia. SVLK sudah diterapkan sejak tahun 2009.

Dalam penerapan gedung hijau sangat perlu memperhatikan aspek keselamatan. Bangunan yang menggunakan material kayu mempunyai resiko terserang jamur dan serangga perusak misalnya rayap. Penanganan rayap perlu mendapat perhatian khusus pasalnya kerugian akibat rayap di Indonesia mencapai hingga triliunan rupiah. Saat ini Asosiasi Perusahaan Pengendalian Hama Indonesia (Aspphami) tengah mengajukan permohonan revisi SNI 2404:2015 dan SNI 2405:2015 (tata cara pengendalian serangan rayap tanah pada bangunan rumah dan gedung pra dan paska konstruksi).

Usulan revisi SNI ini kan menjadi bahan kajian bagi PuSTARhut untuk dikoordinasikan dengan BSN sebagai opsi untuk dilakukan kaji ulang SNI. SNI tersebut diterbitkan lebih dari 5 tahun yang lalu sehingga sudah dapat dilakukan kaji ulang.

Diskusi ini dilaksanakan sebagai bagian dari sesi bahasan pada Simposium Nasional “ Standar Hasil Hutan dalam Ekonomi Sirkular untuk Konstruksi Hijau” yang merupakan rangkaian Pekan Standar (PeSTA) 2024 yang digelar Badan Standar Instrumen Lingkungan Hidup dan kehutanan (BSILHK) pada 10-12 September 2024 di Jakarta.

Penanggung jawab berita: Dr. Wening Sri Wulandari – Kepala Pustarhut

Editor: Ir. Choirul Akhmad, M.E – Kepala Bidang PSIPLK

Kontributor berita: Tim Humas Pustarhut